Friday, June 18, 2004
Hikmah Seorang Nenek
Pagi ini memang agak terik dibanding sebelumnya, membuat beberapa orang ingin bergegas sampai ke tempat tujuannya. Tapi sayang, bis yang akan membawa mereka pergi tak kunjung datang dan membuat beberapa orang terdampar di pinggir jalan. Ada seorang ibu menggandeng anaknya yang memakai seragam putih-merah, seorang wanita muda berambut lurus, berkulit putih mulus, dengan wewangian yang pastinya menjadi dambaan seluruh pria di kampusnya, seorang bapak menjinjing buku di tangannya sementara tangannya satu lagi memegang sebatang rokok kretek, ada juga seorang wanita setengah baya memakai jilbab dan berseragam pegawai negeri dengan perhiasan berkilauan berjejer di pergelangan tangannya, dan terakhir seorang pria berpakaian rapi dengan tas ransel di punggungnya seperti layaknya orang kantoran.
Akhirnya bis yang mereka tunggu datang juga dan mereka pun bergegas masuk ke dalamnya. Sebenarnya ada tempat duduk kosong yang berada di dekat pintu, tapi anehnya orang-orang yang baru naik tadi sepertinya enggan untuk duduk di bangku tersebut. Bahkan sebagian dari mereka melirik jijik dan manganggap bangku itu tak ada. Mereka lebih memilih duduk di bangku lain walau harus merasakan sempit dan panas karena jendelanya langsung menghadap matahari. Si pria berpakaian rapi yang naik terakhir sepertinya tidak mempunyai pilihan lain untuk duduk di bangku itu.
Ternyata yang membuat orang enggan duduk di bangku itu adalah orang yang duduk dibelahnya, seorang nenek berkulit gelap dengan pakaian yang lusuh dan kain yang robek dibeberapa tempat, rambutnya yang putih diikat dan ditutupi kain kotor, ditambah bau badannya yang kurang bersahabat. Nenek itu membawa sebungkus plastik hitam, di dalamnya terdapat beberapa sayuran. "Hmm.. mungkin dari berbelanja di pasar.." pikir si pria tersebut yang juga sudah mulai terganggu dengan aroma yang kian menyengat.
TIdak berapa lama naik seorang wanita pengamen jalanan sambil menggendong anak kecil, ia kemudian menyanyi diiringi suara dari kumpulan tutup botol yang sudah pipih dan dipaku pada sebatang kayu kecil. Sementara anaknya tertidur pulas dalam kain yang menyangga tubuhnya. Setelah ia selesai bernyanyi, seperti biasa ia mengeluarkan bungkus permen bekas untuk menampung uang pemberian para penumpang yang kali ini agak malas untuk memberi.
Tidak disangka-sangka, sang nenek di samping pria kantoran itu mengeluarkan semacam dompet yang terbuat dari koran, ia mengeluarkan selembar uang seribu rupiah dan memberikannya pada wanita pengamen tadi. Kejadian itu membuat sebagian besar penumpang terperanjat dan sekaligus malu, termasuk si pria yang duduk di sebelah nenek. Si nenek melihat keheranan pada wajah sang pria, lalu sambil tersenyum ia berkata. "Saya itu masih beruntung dibanding dia (sambil menunjuk wanita pengamen), saya masih bisa membeli makanan tapi dia harus mengamen buat makan.. iya kan nak?"
Semua penumpang tertegun malu, sadar akan sesuatu yang kini menghujam mereka. Di balik pakaian bagus, parfum mahal, dan perhiasan mewah, ternyata itu semua hanyalah untuk menutup kebusukan hati yang mungkin lebih busuk baunya dibanding dengan bau tubuh si nenek. Tapi pada nenek yang sangat sederhana itu, yang selalu kita pandang rendah, tersembunyi permata hati yang selalu berkilau dan mengharumkan seluruh jagad ini.
(Dari suatu pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan)
Ditulis Ozzan 2:07:00 PM ||