Wednesday, December 15, 2004
Seorang Polisi Cepek Itu...
Pagi ini terasa lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Sesaat ketika kami ingin beranjak dari rumah, rintik air berjatuhan ke tanah yang dari tadi sudah memendam basah. Sebelum beranjak, kecup kami mendarat di pipi amanah kecil kami yang masih tertidur lelap dan ucap salam untuk keluarga yang mengantar kami ke pintu depan.
Rintik air itu masih saja menemani kami di sepanjang jalan yang tidak juga lengang dari deretan kendaraan dan kepulan asap. Hanya sabar yang coba disisipkan di hati yang mulai penat oleh bising deru mesin. Semeter demi semeter kami melaju, berkelok mengharap celah untuk memberikan jalan dan akhirnya tibalah pada akhir kemacetan.
Aku memilih jalan kecil untuk menghindari kemacetan, walau perjalanan akan sedikit memutar tapi paling tidak kami tenang untuk bersantai duduk di bangku motor sambil menikmati kesejukan udara dan butir-butir kecil air yang beberapa hari ini memang kami harapkan untuk jatuh ke bumi.
Pandanganku kini terpatri pada sesosok raga yang berada tepat di tengah persimpangan yang akan kami lalui. Setiap hari ia selalu saja di situ. Tubuhnya tegap berkulit gelap, bertopi hitam sehitam kumis dan bewoknya yang tercukur rapi. Pakaiannya bersih berjelana jeans dengan tas pinggang menemani. Sungguh tidak seperti orang-orang yang berprofesi sama dengannya. Seorang Polisi Cepek yang selalu ada di persimpangan jalan mengharap jasanya dibayar dengan uang sekedar.
Takjub kami bertambah padanya, ketika ia selalu melempar senyum kepada semua pengendara yang melewatinya. Walau sepertinya lebih banyak yang acuh dab tidak membayar jasanya itu, ia tetap melempar senyumannya. Wajahnya yang sangar tertutup rapi oleh senyumannya itu. Sekali lagi, sungguh diluar kebiasaan orang-orang yang berprofesi sama dengannya. Seorang Polisi Cepek yang selalu ada di persimpangan jalan mengharap jasanya dibayar dengan uang sekedar.
Sebuah niat datang menggebu kalbuku untuk dapat membayar jasanya. Bukan untuk jasanya yang memberhentikan kendaraan lain agar memberikan jalan pada kami, tapi untuk senyumnya di pagi itu. Sebuah senyum yang tiap pagi kami terima, yang membuat kami terbangun dari pelitnya hati ini untuk memberi.
Tapi sayang, tanganku begitu sibuk mengendalikan motor yang mulai melaju terdorong oleh kendaraan di belakang kami, tak sempat aku rogoh kantong celanaku. Kemudian, aku hanya bisa melambaikan tangan dan kuucap kata terima kasih padanya sambil kuikuti nasehatnya di setiap pagi itu... Memberikan Senyum sebagai pengganti uang recehku.
Ditulis Ozzan 4:49:00 PM ||